IDERAKYAT.COM – Kampung Adat Naga yang berada di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya merupakan salah satu wilayah yang masih memegang teguh ajaran leluhur. Keunikan kampung adat ini bukan terletak pada kemegahan bangunannya, melainkan pada kesederhanaan, konsistensi, dan falsafah hidup yang mengakar kuat.
Mencapai Kampung Adat Naga yang berada di lembar Sungai Ciwulan, perlu menuruni sekitar 400 anak tangga yang curam, dengan pemandangan persawahan hijau yang membentang. Kampung Adat Naga adalah sebuah living museum, sebuah testament atas keteguhan hati sebuah masyarakat untuk mempertahankan identitasnya di tengah gempuran globalisasi.
Pemandangan di Kampung Adat Naga sangat seragam. Seluruh rumah menghadap ke utara atau selatan, berjajar rapi dengan orientasi timur-barat. Atapnya terbuat dari ijuk hitam, dindingnya anyaman bambu atau bilik, dan lantainya dari bambu yang ditinggikan. Tidak ada satu pun rumah yang berdinding tembok, berlantai keramik, atau beratap seng.
Tentunya, setiap detail arsitektur mengandung makna dan alasan. Bentuk rumah panggung melambangkan hubungan manusia dengan alam bawah (bumi) dan alam atas (langit). Penggunaan bahan alam yang mudah terurai mencerminkan prinsip keberlanjutan.

Bahkan, jumlah rumah pun tidak ada yang berubah. Semua berjumlah 112 unit sejak dulu yang menandakan mekanisme untuk mengontrol populasi dan menjaga keseimbangan ekosistem lembah.
Dalam segi pemerintahan, Kampung Adat Naga dipimpin oleh seorang “Kuncen” dan dibantu oleh para sesepuh. Kuncen bukan hanya pemimpin administratif, tetapi juga pemimpin spiritual yang menjadi penghubung antara masyarakat dengan leluhur dan penjaga dari hal yang “Pamali” atau tabu.
Pamali merupakan kalimat sakral yang menjadi penjaga tradisi Kampung Adat Naga. Pamali berkaitan dengan larangan ketat yang harus dan wajib dipatuhi. Beberapa di antaranya yang paling terkenal adalah:
* Dilarang mengambil foto di area pemakaman leluhur.
* Dilarang menggunakan perabot dari plastik atau kaca di dalam rumah.
* Dilarang berbicara kotor, bergosip, atau bertengkar.
* Dilarang memelihara hewan ternak berkaki empat, seperti sapi atau kambing.
Dalam sistem ekonomi, warga Kampung Adat Naga mengandalkan pertanian organik dan kerajinan tangan. Mereka menanam padi, palawija, dan sayuran tanpa pestisida kimia. Anyaman bambu dan tikar mendong menjadi sumber penghasilan tambahan yang ramah lingkungan.
Gelombang modernisasi tidak sepenuhnya bisa ditahan. Anak-anak muda Kampung Naga bersekolah hingga ke kota, terpapar dengan gaya hidup dan teknologi baru. Ini menjadi tantangan terbesar bagi kelangsungan adat.
Meski memahami dan menghormati adat, godaan untuk mengadopsi gaya hidup di luar kadang kuat. Namun, anak muda Kampung Adat Naga menyadari bahwa nilai-nilai luhur justru menjadi penyeimbang dan identitas yang membedakan mereka.

Sisi lain, pariwisata menjadi pisau bermata dua. Kunjungan wisatawan membawa dampak ekonomi, tetapi juga berpotensi mengiknis nilai sakralitas. Masyarakat Kampung Naga sangat bijak mengelola ini. Mereka membatasi area yang boleh dikunjungi, melarang penginapan bagi wisatawan, dan menjaga interaksi agar tidak mengganggu ritme hidup sehari-hari.
Keberadaan Kampung Adat Naga memberikan pesan yang kuat yakni modernisasi bukanlah tentang mengejar segala hal yang baru, tetapi tentang kemampuan untuk memilih dan memilah. Kemajuan tidak harus berarti meninggalkan identitas.

